JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutus tidak dapat menerima uji materiil Pasal 7 ayat (2) huruf p dan Pasal 70 ayat (3) sampai ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada), Selasa (30/5).
Mahkamah memandang Muhamad Zainal Arifin sebagai Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan.
“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Wakil Ketua MK Anwar Usman mengucapkan amar Putusan Nomor 68/PUU-XIV/2016.
Pemohon mempermasalahkan perbedaan perlakuan pada petahana yang kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Menurutnya, jika UU Pilkada menghendaki calon kepala daerah wajib berhenti dari jabatan publik supaya tidak ada konflik kepentingan, maka ketentuan tersebut harus diberlakukan pada seluruh calon, termasuk bagi petahana yang mencalonkan diri kembali.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menyatakan tidak menemukan keterkaitan antara norma yang diajukan dengan kepentingan Pemohon. Sebab norma yang diajukan pada pokoknya mengatur hak dan kewajiban calon kepala daerah untuk mengikuti pemilihan kepala daerah.
“Pemohon tidak menguraikan yang bersangkutan merupakan calon kepala daerah atau pernah menjadi calon kepala daerah dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Pemohon hanya mendalilkan sebagai perseorangan warga negara yang menyatakan menginginkan adanya pemilihan kepala daerah yang demokratis dan tanpa adanya kecurangan,” ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membacakan pertimbangan hukum.
Selain itu, Mahkamah juga tidak menemukan korelasi dalil potensi kerugian hak konstitusional Pemohon dengan status maupun profesi Pemohon sebagai advokat. “Seandainya pun Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah telah memutus norma yang sama dan isu konstitusionalitas yang sama dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XIV/2016, bertanggal 28 Februari 2017,” tegasnya. (ARS/lul–MK)