JAKARTA – | Financial Technology (Fintech) atau teknologi finansial (Tekfin) digadang-gadang menjadi sebuah solusi untuk menjawab tantangan inklusi keuangan di Indonesia.
Keberadaan Fintech yang mayoritas menyasar segmen ritel diharapkan mampu memperluas jangkauan masyarakat terhadap akses keuangan.
Menurut hasil riset Bank Dunia, 20 persen kenaikan inklusi keuangan melalui adopsi layanan keuangan digital akan menyediakan tambahan 1,7 juta pekerjaan baru.
Sementara dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total pengguna internet di Indonesia mencapai 150 juta orang dari total penduduk Indonesia sekitar 264 juta.
Dari total pengguna internet di Indonesia itu, 49,52 persen adalah mereka yang berusia 19-34 tahun. Namun yang baru mengakses layanan perbankan hanya 7,39 persennya saja.
Sementara itu, Indonesia juga akan menghadapi bonus demografi pada 2030-2045. Pada periode tersebut, pemerintah memperkirakan sekitar 70 persen populasi Indonesia merupakan penduduk usia produktif. Bahkan pada 2045 penduduk Indonesia diprediksi mencapai 321 juta.
Kondisi tersebut tentu menjadi kesempatan bagi Fintech untuk melakukan penetrasi ke masyarakat yang belum terakses perbankan mulai saat ini.
Solusi hapus rentenir
Salah satu tantangan yang dihadapi untuk mendorong tingkat inklusi keuangan adalah kemudahan akses ke layanan atau produk finansial terutama bagi masyarakat di desa dan daerah yang selama ini mengandalkan jasa rentenir.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyebut alasan rentenir sulit diberantas karena antara pihak peminjam dan yang memberikan pinjaman saling merasakan manfaat meski harus terbebani dengan bunga yang besar.
Ekosistem itu terbentuk akibat kebutuhan keuangan yang mendesak dan telah terjadi selama puluhan tahun. Masyarakat atau pelaku usaha yang meminjam ke jasa keuangan itu rata-rata adalah mereka yang belum tersentuh perbankan. Tentunya dengan berbagai alasan.
Maka, mau tak mau, untung tak untung, ekosistem terbentuk karena masyarakat menginginkan pencairan yang cepat, tak butuh prasyarat khusus, meski beban bunga bisa mencapai 50 persen dari peminjaman.
“Gimana melarangnya? Itu sudah bertahun-tahun ekosistem itu terjadi dan saling menguntungkan, yang pinjam untung karena ke bank ga boleh masuk,” ujar Wimboh.
OJK memandang perusahaan Fintech harus mampu mengambil alih pasar yang dikuasai rentenir tersebut terutama yang unbankable. Usaha ini juga sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, lewat akses permodalan bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Meski memiliki peluang besar dalam penetrasi pasar, layanan Fintech juga dihadapkan pada sejumlah tantangan yang mesti dihadapi seperti harus memiliki kapasitas berkembang jangka panjang, perlindungan data pribadi, hingga pencegahan kejahatan siber.
“Yang lainnya tidak boleh ngakalin kostumer dan juga bunga ga boleh kayak rentenir. Etika penagihan harus ada,” kata dia.
Menanggapi banyaknya layanan jasa aplikasi layanan P2P Lending yang bermasalah, ia mendorong masyarakat untuk menelusuri mana Fintech yang terdaftar di OJK dan mana yang tidak. Hal itu untuk meminimalisasi adanya penyimpanan.
“Jadi pilihlah Fintech yang terdaftar, kenyataannya sekarang ada 113 Fintech lending yang terdaftar OJK,” kata dia
Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN) menyatakan UMKM bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di angka 7 persen. Pertumbuhan itu akan terjadi apabila bisa mendorong kenaikan omzet hingga 30 persen dan kondisi sekarang.
Pelaku usaha mikro dan kecil saat ini berkisar 63 juta unit usaha, yang terbagi atas 62 juta pelaku mikro dan 750 ribu orang pelaku usaha kecil. Apabila unit usaha itu didorong untuk naik kelas, maka Indonesia akan terlepas dari stagnasi pertumbuhan ekonomi lima persen.
“UMKM memberikan kontribusi terhadap PDB 60 persen, tapi akses perbankan hanya 20 persen. Kalau diberikan akses yang lebih besar lagi maka mereka akan naik kelas,” kata Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta.
Upaya peningkatan omzet itu dengan melibatkan UMKM dalam aktivitas investasi dan ekspor, hingga melarang masuknya perusahan besar untuk sektor usaha yang layak digarap UMKM.Terpenting, dibutuhkan akses permodalan serta akses pasar. Akses permodalan ini harus bisa dilirik oleh Fintech.
Inklusi Keuangan
Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 meluncurkan Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Penerbitan SNKI ini dilatarbelakangi tingkat literasi dan inklusi keuangan di Indonesia. Pemerintah menargetkan indeks inklusi keuangan pada 2019 bisa mencapai 75 persen.
Staf Khusus Menteri Kominfo Lis Sutjiati mengatakan target pemerintah untuk mencapai inklusi keuangan di angka 75 persen bisa dikejar dengan memaksimalkan perusahaan layanan teknologi finansial (Fintech).
“Di sini Fintech berperan mengambil market yang belum tersentuh bank-bank untuk mencapai target tersebut,” ujar Lis belum lama ini.
Kehadiran Fintech dapat menjadi salah satu jawaban untuk mengejar target inklusi keuangan itu. Dari data yang dimilikinya, indeks inklusi keuangan di Indonesia pada 2018 baru sekitar 50 persen.
Ia mengatakan terdapat celah atau “gap” sekitar 16 persen dari target 75 persen yang tidak bisa dilakukan secara konvesional oleh bank-bank yang ada. Celah tersebut terjadi akibat keterbatasan bank sebagai jasa keuangan konvesional memasuki segmen-segmen tertentu.
Tak hanya itu, pertumbuhan inklusi keuangan dalam rentang tiga tahun terakhir hanya mampu menyumbang pertumbuhan inklusi keuangan Indonesia sebesar 13 persen. Sementara sekitar 16 persen masyarakat belum tersentuh bantuan finansial, apabila dikonversikan terdapat 35 juta penduduk yang tidak memiliki akun bank.
Melihat celah itu, asosiasi Fintech kemudian minta agar bisa masuk mengisi batasan yang dimiliki bank. Upaya Fintech masuk ke masyarakat bukan membatasi atau mengambil peranan bank. Namun yang diperlukan justru adanya kolaborasi dalam upaya penertrasi masyarakat jadi pelaku ekonomi.
“Bukan hanya menyuburkan Fintech masuk di Indonesia tapi bisa membuat rakyat kita bisa masuk ke ekonomi. Nah finansial inklusif arahnya ke situ,” kata Lis. — Oleh Asep Firmansyah | sumber : antara