JAKARTA – Praktisi media dari salah satu televisi swasta di Indonesia berpendapat standar jurnalis yang rendah berisiko ditunggangi kepentingan politik yang tidak bertanggung jawab.
“Ini merusak esensi kebebasan pers, seharusnya kebebasan ini bisa dinikmati agar menjadi sesuatu yang bagus dan malah bukan buruk,” ucap Direktur Pemberitaan Metro TV Don Bosco Salamun dalam salah satu sesi dialog “World Press Freedom Day 2017” di Jakarta, Senin siang.
Ia menjelaskan, permasalahan tersebut justru muncul pada masa reformasi yang memunculkan jurnalis-jurnalis baru dalam jumlah yang sangat signifikan.
Jika sebelum reformasi jumlah jurnalis di Indonesia hanya sekitar 3.000-4.000 orang, angka tersebut naik menjadi 10 kali lipat pasca reformasi, tutur Don Bosco.
“Di era itu ada lebih dari 40.000 jurnalis. Ini memang jumlah yang bagus terkait kebebasan pers, tapi di tengah itu tumbuh juga yang standarnya rendah yang kemudian membuat bisnis atau menunggangi media dengan kepentingan politik,” pungkas Don Bosco menegaskan.
Meski pun memiliki kekurangan, namun ia menilai pasca reformasi merupakan masa ternikmat bagi kebebasan pers di Indonesia setelah mengalami banyak tekanan pada pemerintahan Orde Baru.
Menurut dia, kebebasan pers saat ini tidak hanya dinikmati oleh insan pers yang terjun di media, namun juga masyarakat yang bisa mengakses segala macam informasi melalui perangkat teknologi.
“Tidak hanya jurnalis yang bisa menyebarkan informasi, masyarakat pun bisa dengan membuat blog, vlog, dan sebagainya atau menerima sumber informasi yang tidak terbatas,” tutur Don Bosco.
Praktik tersebut merupakan bagian dari fase “3rd Screen”, katanya melanjutkan, yaitu pola masyarakat yang menerima informasi dari layar gawai masing-masing.
Sedangkan pada fase “1st Screen” ialah bentuk penerimaan informasi media dari layar televisi, dan fase “2nd Screen” ada pada penerimaan informasi melalui monitor komputer, ujar Don Bosco memaparkan. (ant)