PALEMBANG – Seorang saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum pada sidang dengan terdakwa bupati nonaktif
PALEMBANG – Seorang saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum pada sidang dengan terdakwa bupati nonaktif Banyuasin Yan Anton Ferdian, mengatakan bahwa diberlakukan aturan ‘fee’ sebesar 20 persen jika ingin mendapatkan proyek di dinas terkait.
Rahmat Setiawan, salah seorang pengusaha yang kerap mendapatkan proyek di Pemkab Banyuasin, Sumsel, memberikan kesaksian di persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Palembang, Kamis.
“Saya mulai memborong proyek di Banyuasin sejak 2013, tapi sejak 2016 aturan fee berubah. Jika sebelumnya 13 persen untuk bos besar (bupati) dan 3 persen untuk Kepala Dinas, sejak 2016 diubah jadi 15 persen dan 5 persen,” kata dia.
Ia mengatakan jika tidak memberikan fee tersebut maka tidak akan mendapatkan proyek yang diinginkan. Pengusaha yang berminat harus menyetor terlebih dahulu ke Kepala Dinas terkait.
“Contohnya saat saya ikut tender proyek Jalan di Pulau Rimau, harus setor dulu ke kadisnya. Saya diundang bertemu langsung di Kopitiam untuk mendengar penjelasan terkait persentase fee yang bertambah,” kata dia.
Saat itu, Rahmat mengaku terkejut karena jika sudah dipotong 20 persen, maka akan sulit untuk mengerjakan proyek tersebut.
“Saya bilang, saya makan dari mana lagi jika dipotong 20 persen begini. Tapi pak Kadis bilang, terserah. Jika mau, silakan setor. Ini permintaan bos,” kata dia.
Ketika ditanya hakim, bagaimana mengetahui bahwa setelah menyetor dipastikan mendapatkan proyek. Ia menjawab bahwa proses tender secara otomatis akan diatur oleh panitia.
“Saya terkadang pakai CV atau PT milik teman, jadi seolah-olah peserta tendernya bukan hanya saja. Istilahnya yang lain itu PT cadangan saya, jadi pasti saya juga yang dapat. Ini lumrah bagi kami, saling pinjam nama PT,” kata dia.
Terdakwa Yan Anton didakwa JPU pada dakwaan kesatu pasal 12 a subsider pasal 11 jo pasal 55 KUHP UU No 20 thn 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, dan dakwaan kedua pasal12 b jo pasal 55 KUHP UU No 20 thn 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
Yan Anton dimajukan ke persidangan setelah terkena operasi tangkap tangan KPK pada 4 September 2016 di kediamannya.
Saat itu bupati menerima suap dari Direktur CV Putra Pratama Zulfikar Muharrami yang diserahkan oleh perantara yakni Kirman (salah seorang pengusaha). Yan Anton menerima bukti pelunasan pembayaran haji ONH plus Rp531.031.000 atas nama dirinya dan keluarga.
Dalam OTT itu, KPK juga menyita uang Rp620 juta yang merupakan uang milik Abi Hasan (Kadis PU Cipta Karya) yang berada ditangan Kirman. (ant)