REKAMAN pengakuan Miryam S Haryani saat diperiksa oleh dua penyidik KPK, Novel Baswedan dan Ambarita Damanik, menguak sebuah dugaan mengejutkan.
Pertama, ada pertemuan 7 penyidik KPK dengan Anggota DPR terkait kasus KTP Elektronik ( e-KTP). Pertemuan itu juga membocorkan sejumlah informasi diantaranya jadwal dan bagaimana pemeriksaan kasus ini.
Kedua, ada pemerasan senilai Rp 2 miliar agar orang yang terjerat kasus e-KTP bebas dari jeratan.
Benarkah ada fakta ini?
Bermula dari rekaman
Sebuah rekaman yang amat mengejutkan. Lembaga antirasuah justru menjadi ladang rasuah dan penghancuran integritas lembaga.
Apalagi saat pemeriksaan, Miryam menyebut nama Direktur Penyidikan (saat ini diduduki oleh Brigadir Jenderal Polisi Aris Budiman).
Adakah pembusuk dari dalam KPK? Adakah musuh dalam selimut di kantor Kuningan
Pertanyaan-pertanyaan ini yang kemudian mengajak saya untuk mencari tahu jawabannya. Temuan-temuan atas pertanyaan ini akan tayang lengkap di ” AIMAN” KompasTV malam nanti, Senin (28/8/2017) pukul 20.00.
Apakah informasi di atas adalah sebuah fakta atau hanya karangan Miryam belaka?
Menemui sahabat Miryam
Langkah pertama yang saya lakukan adalah menemui salah seorang saksi kunci. Kenapa saya katakan saksi kunci?
Ada dua alasan. Pertama, sejak awal ia mendampingi saksi utama kasus e-KTP, Nazaruddin. Kedua, jika fokus pada keterangan Miryam, saksi kunci ini adalah sahabat Miryam.
Sesaat setelah Miryam diperiksa dan didokumentasikan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada Desember 2016 lalu, Miryam curhat ke sang sahabat.
Belakangan Miryam menceritakan siapa yang mendapat apa dan bagaimana suap e-KTP itu dibagi-bagikan ke sejumlah anggota DPR melalui seorang perantara yang juga pejabat di DPR.
Apakah Miryam juga menceritakan soal pemerasan Rp 2 miliar kepada sahabatnya itu? Fakta inilah yang saya gali.
Ternyata, selain bisa menjelaskan seluruh pernyataan Miryam, Sang Sahabat ini juga mendengar soal permintaan uang Rp 2 miliar yang diminta oleh 7 penyidik KPK yang menemui anggota DPR.
“Kapan Anda mendengar soal ini?” tanya saya.
“Jauh sebelum kasus ini diperdengarkan di pengadilan Tipikor,” ia menjawab.
Hanya saja, ia melanjutkan, awalnya ia tidak percaya bahwa ada penyidik KPK yang memeras. Sebab, yang ia tahu, KPK memiliki aturan yang amat keras soal kedisiplinan para pegawai dan penyidiknya.
Ia menganggap kabar pemerasan ini sebagai kabar burung. Ia kemudian mengaku terkejut saat kasus mencuat di pengadilan.
Komite Etik KPK
Yang berwenang menjawab apa yang terjadi sesungguhnya adalah Pimpinan KPK. Proses internal pun seharusnya mulai dijalankan.
Selayaknya ada pembentukan sidang Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) KPK sesuai dengan amanat Kode Etik KPK nomor 11 Tahun 2013. Hal ini juga ditegaskan dengan Peraturan KPK nomor 11 Tahun 2016 yang menyebutkan DPP memiliki tugas memeriksa pegawai yang diduga melakukan pelanggaran disiplin berat.
Apa yang disampaikan oleh KPK?
Saya pun mewawancarai salah satu pimpinan KPK Saut Situmorang. Saya menanyakan perihal kasus ini.
Saut mengatakan yakin bahwa tidak ada penyidik yang berbuat demikian di KPK.
Saya kemudian bertanya, apakah in keyakinan berdasar hasil pemeriksaan ataukah keyakinan pribadi?
Sayangnya, KPK sampai saat ini belum pernah membentuk proses pemeriksaan internal kepada 7 penyidik yang disebut Miryam menemui anggota DPR.
Direktur Penyidikan Brigjen Pol Aris Budiman telah mengatakan bahwa ia tidak pernah bertemu anggota DPR untuk membocorkan informasi terkait kasus e-KTP.
Setidaknya sampai saat ini belum ada keputusan apapun dari KPK yang bisa menjelaskan dugaan ini.
Sebuah kejanggalan. Selain sebagai lembaga pemberantas korupsi juga merupakan lembaga yang menjadi role model penegakan integritas di negeri ini?
Jika memang ada dugaan serius tentu proses internal selayaknya dilakukan dan hasilnya diumumkan secara transparan termasuk proses pemeriksaan yang tidak merugikan pihak – pihak yang memang tidak terbukti terkait di kemudian hari.
Saya teringat kasus bocornya surat perintah penyidikan (sprindik) atas nama Anas Urbaningrum yang belakangan diketahui dilakukan oleh sekretaris Ketua KPK kala itu, Wiwin Suwandi. Saya sempat mewawancarai Wiwin Suwandi secara ekslusif tahun 2013 silam.
Dua pimpinan KPK kala itu, Abraham Samad dan Adnan Pandu Praja, diberikan sanksi etik karena kelalaian dan kurang hati-hati dalam menjaga informasi yang bersifat rahasia.
Apa yang terjadi pada kasus rekaman Miryam ini sungguh sebuah ujian integritas di tubuh KPK. Apa yang terjadi sesungguhnya di dalam sana?
Adakah intervensi yang menekan institusi independen pemberantas korupsi ini? Oleh siapa dan apa kepentingannya?
Pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya tak muncul jika kasus seperti ini segera ditangani sesuai kode etik insitusi role model, penegakan keadilan anti-korupsi negeri.
Saya Aiman Witjaksono.
Salam.
Sumber : Nasional.Kompas.com