Warning: Attempt to read property "post_excerpt" on null in /home/u1603218/public_html/jurnalindependen.com/wp-content/themes/chromenews/inc/hooks/hook-single-header.php on line 87
MUSI RAWAS – | Lantaran dianggap banyak yang keliru, terkait telah diterbitkannya peraturan KPU No.15 tahun 2019 yang mengatur tahapan program dan jadwal penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) Serentak tahun 2020. Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Musi Rawas (Mura), mendesak Pemerintah segera lakukan revisi Undang-Undang tersebut.
Pernyataan itu disampaikan, Kordinator Divisi Hukum Penidakan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Pemilu, Bawaslu Mura, Khoirul Anwar ketika dibincangi sejumlah wartawan diruang kerjanya. Senin (26/8) siang.
Dikatakannya, dalam waktu dekat sejumlah daerah di Indonesia tak terkecuali Kabupaten Mura, segera digulirkan pemilukada serentak pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Adapun dalam kesiapan, belum lama Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menerbitkan Per KPU No 15 Tahun 2019, Dimana, dalam penerbitan sendiri sudah mesti harus berlandaskan UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
“UU No 10 tahun 2016 sudah seharusnya di revisi karena tidak relevan dengan lembaga Pengawas Pemilu. Ada ketidaksesuaian terhadap lembaga pengawas, Tugas, Kewajiban dan Kewenagan dalam mengawasi dan penindakan dibandingkan dengan UU 7 Tahun 2017,” terangnya.
Pada UU No 10 tahun 2016. Pihaknya yang diberi wewenang dalam pengawasan, baik ditingkat Kabupaten/kota. Panitia mengawasi masih disebut Panwaslu (Ad hoc), sehingga KPU dalam menurunkan peraturan tahapan pilkada tahun 2020 masih menyebut lembaga pengawas ditingkat kabupaten masih panwaslu.
“Sebelum disahkan UU Nomor 7 Tahun 2017 lembaga pengawas dibentuk dengan nama Panwaslu dengan dasar hukum UU No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu yang masih bersifat ad hoc.
Dasar hukum tersebut menjadi landasan setiap Pilkada serentak sejak 2013, 2015, 2017 dan 2018. Konsekuesi lembaga pengawas yang bersifat Ad hoc dibentuk pada saat memasuki tahapan Pilkada/Pemilu dan setelah itu dibubarkan pada saat tahapan selesai,” jelasnya.
Sedangkan, sambung Kharul dimulai tahun 2018 mengawali tahapan Pemilu 2019 telah terjadi perubahan kelembagaan Panwaslu, dimana Panwaslu Kab/Kota menjadi permanen dengan disahkan UU No. 7 Tahun 2017 menjadi Bawaslu Kab/Kota dengan jumlah komisioner 3 dan 5 sesuai dengan jumlah penduduk di setiap Kab/Kota.
“Salah satu ukuran permanennya adalah masa tugas bersifat periodic 5 tahun. Selain itu UU 7 Tahun 2017 yang di dalamnya ada BAB yang mengatur kelembagaan penyelenggaraan Pemilu baik KPU dan Bawaslu mulai dari teknis pembentukan lembaga penyelenggara pemilu hingga Tugas Kewajiban dan Kewenangannya,” bebernya.
“Maka dari itu, kami mendesak dan sebuah keharusan menurut saya untuk dilakukan revisi UU No. 10 tahun 2016 tersebut. Saat ini Bawaslu RI sedang mengupayakan pengajuan Judical Review ke MK. Untuk itu perlu dukungan kepada penggiat pemilu dan masyarakat untuk mendorong adaya revisi UU 10 Tahun 2016,” tambah Khoiriul
Selajn itu, Khoirul memastikan tidak dapat maksimal fungsi Bawaslu dalam pengawasan dan penindakan pelanggaran jika masih diterapkan UU 10/2016, “semisal berdasarkan kewenangannya dalam melakukan penindakan pelanggaran Bawaslu diberikan waktu hanya 7 hari kalender sedangkan di UU 7/2017 penindakan pelanggaran diberikan waktu 14 hari kerja dan masih banyak lagi ketidak singkronannya dengan UU 7/2017 yang lebih spesifik mengatur penyelenggara pemilu,” tandasnya. | NRD