JAKARTA — Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) terkait kasus HAM yang terjadi pascatahun 1965 di Indonesia, digelar di Den Haag, Belanda. Rencananya, IPT 1965 akan digelar selama tiga hari, yaitu dari 10 hingga 13 November.
Ketua Setara Institute, Hendardi mengatakan IPT merupakan moot court atau peradilan semu. Sehingga produk yang dihasilkan dari pengadilan ini tidak mengikat secara hukum.
Tapi, IPT ini bisa dianggap sebagai upaya untuk mengungkap kebenaran suatu peristiwa dari perspektif warga. Tidak hanya itu, IPT 1965 pun diharapkan bisa menggugah pemerintah Indonesia untuk lebih serius dalam mengungkap kebenaran dalam peristiwa 1965.
”Itu adalah kerja politik yang ditujukan untuk menggugah pemerintah Indonesia, yang sampai saat ini belum juga melakukan pengungkapan kebenaran peristiwa pelanggaran HAM dan pemulihan terhadap jutaan warga negara yang menjadi korban,” katanya, Kamis (12/11).
Lebih lanjut, Hendardi menyatakan, sikap berlebihan yang ditujukan sejumlah pejabat terkait IPT 1965 ini menunjukan adanya keberhasilan dari tujuan digelarnya sidang pengadilan rakyat ini.
Kemudian, pemerintah pun diharapkan untuk bisa menyusun langkah yang lebih strategis dalam upaya pengungkapan kebenaran dalam peristiwa pelanggaran HAM berat pada 1965. Skema rekonsiliasi yang dirancang Menko Polhukam dan Jaksa Agung, ujar Hendardi, dianggap belum cukup.
”Pemerintah dapat bergegas menyusun langkah nyata melakukan pengungkapan kebenaran dan pemulihan. Skema rekonsilasi yang sudah dirancang Menkopolhukam dan Jaksa Agung bukanlah cara menyelesaikan kasus masa lalu, karena tidak ada proses pengungkapan kebenaran,” jelasnya.
Untuk itu, Pemerintah diharapkan bisa menunjukan komitmennya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu, khusunya pada peristiwa 1965 dan peristiwa yang mengikutinya. Hal ini sesuai dengan mandat konstitusi RI dan skema UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM. (rol)