JAKARTA – Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) mengatur kewenangan pelaksanaan perlindungan konsumen. Sedangkan pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) mengatur mengenai pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di Daerah Tingkat II, sehingga tidak ada pertentangan antara kedua aturan tersebut. Hal itu disampaikan Kepala Biro Hukum Kemendagri, Widodo Sigit Pujianto yang mewakili pemerintah dalam sidang perkara Nomor 3/PUU-XV/2017, Senin (20/2) siang.
“Dengan tidak dibubarkannya BPSK di daerah kota/kabupaten menunjukkan bahwa pengaturan kewenangan pelaksanaan perlindungan konsumen pada pemerintah provinsi, sebagaimana dimaksud dalam lampiran UU Pemda bukan dimaksudkan untuk menghentikan kegiatan BPSK di kabupaten/kota. Namun hanya mengatur kewenangan pemerintahan daerah provinsi yang berdampak pada beralihnya penganggaran BPSK dari semula melekat APBD kabupaten menjadi melekat pada APBD provinsi,” jelas Widodo.
Pemerintah berpendapat, Pasal 408 UU Pemda telah mengatur bahwa pada saat undang-undang tersebut mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggara pemerintahan daerah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan UU Pemda.
“Dengan demikian, segala peraturan perundang-undangan sepanjang berkenaan dengan kewenangan kabupaten/kota, termasuk kewenangan pelaksanaan perlindungan konsumen, tunduk pada UU Pemda, kecuali ditentukan lain atau tidak diatur dalam UU Pemda daerah itu sendiri,” ujar Widodo.
Lebih lanjut, Widodo menjelaskan norma Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan perlindungan konsumen adalah segala upaya menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
“Maka sudah jelas bahwa penyelesaian sengketa konsumen termasuk ruang lingkup perlindungan konsumen. Dengan demikian, saat pelaksanaan perlindungan konsumen merupakan kewenangan pemerintah daerah provinsi, sudah barang tentu pelaksanaan perlindungan konsumen, termasuk di dalamnya penyelesaian sengketa, merupakan anggaran pemerintah provinsi,” ungkap Widodo.
Lebih lanjut Widodo menyampaikan, ketentuan pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan pemerintah menjamin stabilitas perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, keberlanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Hal tersebut bermakna tujuan utama dari pengaturan ekonomi adalah bukan atas pembagian wewenang penyelenggaraan bidang perekonomian, akan tetapi lebih pada kewajiban pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam kehidupan bangsa.
“Adapun upaya tersebut dilaksanakan melalui pemerintah dengan menyelenggarakan suatu sistem perlindungan konsumen yang diatur di dalam undang-undang dengan menentukan kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota,” tandas Widodo.
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, pemohon berdalih bahwa lampiran UU Pemda, pada Angka Romawi I, huruf DD, No. 5 tidak memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau bersifat multitafsir.
Penyelesaian perkara di BPSK, menurut pemohon, memiliki kelebihan dibandingkan penyelesaian perkara di badan peradilan. Namun, Lampiran UU Pemda pada Angka Romawi I, huruf DD, 4 No. 5, khusus mengenai “Pelaksanaan Perlindungan Konsumen” telah ditafsirkan termasuk didalamnya bahwa penganggaran pelaksanaan tugas BPSK diambil alih \ Pemerintah Daerah Provinsi.
Menurut pemohon, penafsiran demikian mengakibatkan pengelolaan manajemen pelayanan kepada masyarakat menjadi sia-sia dan tidak berkelanjutan sehingga menghambat penegakan hak asasi manusia. Pemohon tidak dapat lagi melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 52 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sehingga hak masyarakat untuk mendapatkan akses kepada keadilan menjadi terabaikan.
(Nano Tresna Arfana/lul–MK)