JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Pasal 157 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU 10/2016), Rabu (10/5). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pemerintah yang diwakili Staf Ahli Bidang Apratur dan Pelayanan Publik Kementerian Dalam Negeri Widodo Sigit Pujianto.
Adapun Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 menyatakan: “Peserta Pemilihan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.”
Dalam keterangannya, Widodo menyampaikan kata “sejak” dalam Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Menurutnya, kepastian sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 merupakan gabungan dari dua kata, yakni “kepastian” dan “hukum”.
“Apabila diidentifikasi proposisi itu lebih lanjut secara a contrario, dapat dipahami bahwa ketidakpastian hukum adalah perangkat hukum yang tidak mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Apabila meninjau kembali pemahaman tentang kepastian merupakan keadaan pasti. Sehingga dipahami kepastian menekankan pada keadaan yang dapat diprediksi dalam mengatasi masalah,” urai Widodo.
Dikatakan Widodo, konsep kepastian hukum juga dapat diartikan dalam dua pengertian. Pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan hukum.
“Pasal 157 ayat (5) Undang-Undang 10/2016 sudah secara jelas menjamin hak bagi setiap peserta pilkada yaitu hak untuk dapat mengajukan permohonan sengketa hasil pilkada ke MK,” kata Widodo.
Selain itu, Widodo menjelaskan Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 juga secara jelas membebankan kewajiban bagi peserta pilkada yang ingin mengajukan permohonan sengketa hasil pilkada ke MK. “Dalam hal ini, kewajiban untuk mengajukan permohonan sengketa hasil tidak melewati batas waktu yang ditentukan. Diajukan paling lambat tiga hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota,” paparnya.
Selain itu, Pemerintah berpendapat bahwa pengaturan dalam Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 yang menyebut “paling lambat tiga hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota” pada dasarnya telah menyesuaikan dengan Putusan MK Nomor 105/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa 45 hari dalam Pasal 157 ayat (8) UU 8/2015 harus dimaknai 45 hari kerja. Sebab, perbedaan penghitungannya akan memberikan jangka waktu lebih lama dibandingkan hari kalender.
“Dibandingkan dengan ketentuan Pasal 157 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang masih menggunakan jangka waktu paling lama 3×24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota, maka pasal 157 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 jauh memberikan keuntungan bagi Pemohon karena penghitungannya telah menggunakan hari kerja dan bukan hari kalender,” jelas Widodo.
“Apabila ketentuan hari kerja digantikan dengan 3×24 jam, justru bertentangan dengan hak asasi manusia karena ketentuan tersebut akan mewajibkan pihak Mahkamah Konstitusi untuk tinggal di kantor selama 72 jam berturut-turut. Sementara kelaziman seseorang untuk melaksanakan pekerjaan adalah selama jam kerja,” tandas Widodo kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Perkara teregistrasi dengan Nomor 11/PUU-XV/2017 tersebut dimohonkan oleh Supriyadi Adi. Pemohon menguji Pasal 157 ayat (5) dan Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016. Pemohon mendalilkan pengujian pasal yang mengatur hari dalam penyelesaian perselisihan hasil dan/atau sengketa sejak tahapan sengketa proses sampai sengketa hasil, satu dan lain hal berkaitan erat dengan telah diajukannya Putusan MK No. 105/PUU-XIII/2015 tertanggal 11 November 2015.
Pemohon beranggapan meskipun kata “hari” telah dimaknai sebagai “hari kerja” oleh MK, namun menurut hemat Pemohon, akibat dari frasa “3 hari kerja terhitung sejak” dalam Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 menimbulkan ketidakpastian hukum dan bersifat diskriminatif karena menimbulkan multitafsir dalam memaknai bunyi pasal a quo. (Nano Tresna Arfana/lul–MK)