JAKARTA – Anggota Komisi III DPR sekaligus Anggota Panitia Khusus RUU Anti Terorisme Arsul Sani mengatakan, terbuka kemungkinan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme mengadopsi Undang-Undang Terorisme Inggris.
Hal ini terkait dengan isu perpanjangan masa penahanan terduga teroris oleh kepolisian.
“Di sana ada istilah penangkapan precharge detention, penahanan sebelum persangkaan sampai 14 hari. Itu pun harus sesuai dengan izin peradilan,” kata Arsul usai rapat RUU Jabatan Hakim di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (29/5/2017).
Arsul menilai, Inggris memiliki model perundang-undangan terbaik dalam pemberantasan terorisme. Menurutnya, penegakan hukum di Inggris sangat tegas, namun dengan memperhatikan hak asasi manusia.
“Bisa saja kami sepakati model Inggris yang akan diadopsi dalam RUU terorisme ini,” imbuuh Politisi F-PPP itu.
Poin lain yang menjadi sorotan Arsul adalah pencabutan paspor milik pihak yang diindikasikan terkait tindak pidana terorisme. Ia menambahkan, ketentuan soal pencabutan paspor sudah hampir final. Namun, poin yang masih menjadi perdebatan adalah soal pencabutan kewarganegaraan.
“Akan tetapi, kecil kemungkinan RUU Anti Terorisme akan mengatur soal pencabutan kewarganegaraan bagi warga negara yang diindikasikan terlibat terorisme. Sebab, Indonesia memiliki prinsip hukum bahwa warga negara tidak boleh stateless. Ini masih harus disinkronkan,” tambahnya.
Arsul mengakui, masih adanya perbedaan pandangan dalam beberapa isu RUU Anti Terorisme. Ia menerangkan pihaknya masih mendengar kelompok masyarakat untuk menjadi pertimbangan.
“Ada beberapa isu yang memang memerlukan kehati-hatian dari panja dan pansus. Tetapi saya melihat juga bahwa sudah ada kemajuan yang bisa kita capai,” optimis politisi asal dapil Jawa Tengah itu. (sf,mp–DPR)