Oleh : Bambang Sudarto
BALLROOM Hotel Hakmaz Taba, Lubuklinggau, lebih sering kosong dan lenggang, Sabtu (13/8). Padahal siang itu sedang berlangsung Musda (Musyawarah Daerah) Komite Nasional Pemuda Indonsia (KNPI) Kabupaten Musirawas. Ruangan yang seharusnya penuh peserta sidang yang tengah menggodok proses pemilihan ketua KNPI yang baru, itu lebih sering ditinggalkan kosong karena peserta walkout atau meninggalkan sidang tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Praktis Musda KNPI Mura beberapa kali ditunda. Sidang pemilihan ketua KNPI Mura periode 2015-2018 buntu (dead lock). Hingga Sabtu malam ketika rapat baru bisa dimulai lagi, sudah muncul tanda-tanda sidang bakal ditunda lagi atau bahkan akan ricuh. Dan benar, menjelang pukul 01.00 Minggu dini hari sidang ricuh. Puncaknya pintu kaca auditorium pecah. Para Peserta membubarkan diri. Yudi Fratama, salah satu kandidat ketua KNPI yang baru diamankan oleh pihak keamanan salah satu OKP berbaju loreng. Ketua KNPI Mura yang baru gagal dipilih.
Padahal semua orang tahu KNPI adalah organisasi kepemudaan yang besar. Organisasi yang telah lama malang melintang dan jatuh bangun di jagad kepemudaan negeri ini. Mengapa kejadian memalukan itu bisa terjadi? Ternyata nama besar dan pengalaman saja tidak cukup untuk memuluskan Musda yang penting itu, yaitu memilih ketua KNPI periode 2015-2018. Diantara 2 kandidat yang bersaing adalah Yudi Fratama yang juga Ketua DPRD Mura, dan Bahet Edi Kuswoyo dari unsur elit KNPI. Sementara kandidat ketiga, Firdaus Cik Ola
Sekalipun pada Minggu (14/8) terdengar kabar Musda kembali diselenggarakan lagi di dua tempat berbeda itu menjadi ironis. Peserta Musda otomatis terbelah menjadi dua kubu. Kubu pertama yang mendukung pencalonan Yudi menyelenggarakan Musda di Hotel Smart. Sementara pihak Bahet tetap mengadakan sidang Musda di auditorium hotel Hakmaz Taba. Dengan ini jelas akan memunculkan dua kepemimpinan KNPI Mura dengan versi yang berbeda. Kepemimpinan KNPI Mura versi Yudi dan versi Bahet.
Bisa jadi semua itu disebabkan elit organisasi KNPI Mura hanya berkaca pada elit politik Indonesia kekinian. Ada Golkar versi Ical, ada versi Agung Laksono. Ada PPP versi Romsy, ada pula versi Suryadharma, dan bahkan berkaca pada DPR sekarang, yang bukan menjadi bagian dari solusi malah menambah permasalahan di tingkat nasional.
Tetapi coba tengok organisasi besar sosial keagamaan yang selalu dipandang tradisional, NU (Nadlatul Ulama) yang baru saja dengan mulus memilih pucuk kepemimpinannya. Begitu juga dengan Muhammadiyah. KNPI Mura tidak mau mengambil teladan dari proses pemilihan ketua organisasi besar itu.
Penyelenggaraan Musda bagi organisasi besar setingkat KNPI tentu harus mendasarkan pada aturan-aturan dalam AD/ART nya. Peraturan yang sifatnya teknis pelaksanaan sidang harus dimusyawarahkan lebih dulu, dan hasilnya bersifat mengikat kepada semua peserta. Itu biasanya diwujudkan dalam tata tertib sidang Musda. Tujuannya tentu agar bisa mengakomodasikan kepentingan seluruh peserta sidang, yang saat itu menurut panitiia peserta sidang Musda mencapai tidak kurang dari 37 OKP di Kabupaten Mura.
Selain itu dengan tatib memungkinkan mengukur kinerja organisasi KNPI periode sebelumnya. Apakah KNPI dinilai mengalami kemajuan atau tidak? Melalui tatib, kepemimpian periode lalu harus mempertanggungjawabkan jabatannya secara terbuka di depan sidang mengenai segala aspek yang berhubungan dengan organisasi KNPI Mura.
Tata tertib yang berisi teknis persidangan harus ada dalam Musda. Karena tatib adalah rohnya sidang. Roh tersebut mencerminkan benang merah visi dan misi peserta sidang, meskipun dari OKP dan unsur gerakan kepemudaan yang berbeda. Sidang tanpa tatib bisa saja terjadi. Sidang Musda akan gersang tanpa roh, tanpa jiwa… Meth-MuraNews