SEJUMLAH yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) serta walikota, mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
APKASI yang diwakili kuasa hukumnya Andi Syafrani, mempersoalkan ketentuan dalam UU Pemda yang mengatur pembagian kewenangan pemerintah pusat dan daerah yang dinilai membatasi kewenangan pemerintah kabupaten/kota dengan cara memperluas campur tangan pemerintah pusat untuk membatalkan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kabupaten/kota.
Menurut Syafrani, ketentuan itu justru menagasikan suara rakyat yang tercermin melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan pemilihan kepala daerah, serta menegasikan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk melakukan pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
“Terkait dengan pembagian klasifikasi urusan pemerintahan, menurut kami ini adalah bentuk sentralisme kekuasaan, pembatasan kekuasaan pemerintah kabupaten/kota serta model otonomi fiktif,” ujar kuasa hukum perkara 137/PUU-XIII/2015 itu. Dengan ketentuan itu menurutnya membatasi ruang gerak pemerintah kabupaten/kota untuk melayani masyarakat.
Kepada majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Patrialis Akbar, Syafrani menilai pembentuk undang-undang menghendaki pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan yang otonom dan mandiri dengan mencantumkan frasa konkuren yang memiliki arti urusan pemerintah daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintah pusan, tidak memiliki urusan pribadi, sehingga mereduksi bahkan bertentangan dengan prinsip otonomi daerah.
Terkait dengan kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya alam, Syafrani mengatakan UU Pemda telah membelenggu pemerintah kabupaten/kota dengan memberikan kewenangan kepada menteri dan gubernur yang dapat membatalkan Peraturan Kabupaten (Perkab). Menurutnya, karena pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji merupakan pasal-pasal inti dari UU Pemda maka untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum pemohon meminta pelaksanaan UU nomor 32 tahun 2004 dapat berlaku kembali untuk sementara waktu sampai dibentuknya undang-undang baru tentang otonomi daerah dan pemerintah daerah.
Terhadap permohonan itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan nasihat agar memperhatikan kedudukan hukum pemohon, terutama siapa yang dapat mewakili kepentingan daerah di pengadilan, mengingat dalam putusan MK telah dinyatakan bahwa yang mewakili daerah di pengadilan adalah DPRD dan kepala daerah. Selain itu Suhartoyo meminta agar kuasa hukum pemohon memperhatikan kedudukan domisili pemohon dalam surat kuasa.
Di lain pihak, Hakim Konstitusi Aswanto mencermati kerugian konstitusional pemohon yang belum dipaparkan dengan jelas. Selain itu, Aswanto melihat sistematika penulisan permohonan yang dinilai kurang tepat. Menurutnya apa yang dituliskan pemohon dalam bagian pendahuluan dapat dimasukkan sebagai bagian argumentasi permohonan. Terkait dengan nasihat Hakim Konstitusi Suhartoyo yang menyinggung kedudukan hukum pemohon, Aswanto menyarankan hal itu dapat dikaitkan dengan kerugian konstitusional dan pemohon diminta untuk konsisten dengan kedudukan hukum dalam permohonan.
Sementara Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang memimpin jalannya persidangan mengatakan bahwa para pemohon dapat mengkaitkan kerugian konstitusional mereka masuk dari eksistensi pemerintah daerah yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). “Sebaiknya dalam permohonan ini, saudara mengelaborasi tentang masalah pengakuan secara konstitusi keberadaan kabupaten/kota,” ujar mantan anggota Panitia Ad Hoc I Majelis Permusyawaratan Rakyat itu. Menurutnya otonomi pemerintah daerah sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dijamin dalam UUD 1945, dimana pemerintah daerah terdiri dari DPRD dan kepala daerah.
Selain itu, Patrialis juga memberikan nasihat kepada para pemohon untuk mengaitkan kewenangan pembatalan Perkab oleh gubernur dengan kewenangan Mahkamah Agung yang diatur dalam UUD. (Ilham–MK)