Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik

Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (UU PKS) yang dimohonkan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM).

“Mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Wakil Ketua MK Anwar Usman mengucapkan amar putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Senin (30/11).

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL) sebagai Pemohon, menguji ketentuan Pasal 16 dan Pasal 26 UU PKS yang menyatakan:

Pasal 16

Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) ditetapkan oleh bupati/wali kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 26

Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota dapat melakukan:

a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk sementara waktu;

b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu;

c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk sementara waktu; dan

d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara waktu.

Menurut Mahkamah, pengaturan dalam Pasal 16 UU PKS telah memberikan ketentuan yang jelas. Pemberian kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Bupati atau Walikota untuk menetapkan status keadaan konflik di daerahnya, dengan meminta pertimbangan kepada DPRD sebagai representasi rakyat daerah adalah hal yang wajar. “Hal demikian sejalan dengan prinsip negara demokrasi yang sesuai dengan UUD 1945,” ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar membacakan pertimbangan hukum.

Selain itu, imbuh Mahkamah, pemahaman terhadap Pasal 16 UU PKS harus dikaitkan dengan Pasal 14 UU PKS, yang intinya status keadaan konflik ditetapkan apabila konflik tidak dapat dikendalikan oleh Polri dan terganggunya fungsi pemerintahan. “Bupati atau Walikota tidak dapat serta-merta secara sepihak menetapkan daerahnya sebagai daerah konflik, karena diperlukan pendalaman proses yang diawali oleh adanya suatu peristiwa pihak yang bersengketa dan apabila Polri tidak cepat mengendalikannya,” imbuhnya.

Terkait uji ketentuan Pasal 26 UU PKS, menurut Mahkamah ketentuan tersebut untuk menghindari kerugian dari warga negara lainnya. Hal tersebut mengingat Pemerintah Daerah yang lebih mengetahui kondisi riil di daerahnya dibandingkan dengan Pemerintah/Presiden. Desentralisasi, menurut Mahkamah, menjadi hal pokok dalam negara demokrasi.

“Dengan adanya desentralisasi tersebut, keragaman daerah dengan kearifan lokalnya juga mendapatkan pengakuan termasuk untuk menentukan sikap terkait konflik sosial di daerah. Selain itu, dengan sistem yang demikian akan mempermudah penyelesaian karena memperpendek rentang kendali dan koordinasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam hal penanganan konflik sosial,” jelas Patrialis.

Mahkamah menilai, pemahaman kewenangan keamanan sebagai kewenangan absolut pemerintah tidak dapat dimaknai bahwa hanya pemerintah pusat yang dapat mengambil kebijakan penyelesaian konflik di tingkat daerah. Pemberian kewenangan tersebut, menurut Mahkamah tidak rigid, karena besarnya dinamika konflik yang terjadi di tingkat daerah dan variasi bentuk serta akar dari konflik tersebut. Oleh karena itu, institusi yang bertanggungjawab mengatasi konflik, yaitu Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga mempunyai mekanisme berjenjang dalam melaksanakan tugasnya di daerah. Hal ini sejalan dengan keterangan TNI dalam persidangan tanggal 9 September 2014 yang antara lain menerangkan bahwa dalam hal konflik sosial, TNI tidak mempunyai kewenangan kecuali dibutuhkan bantuannya oleh Polri. “Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka menurut Mahkamah, penentuan keadaan konflik sosial oleh pemerintah daerah yang dalam hal ini adalah Pemerintah Kabupaten atau Kota adalah cukup rasional dan tidaklah bertentangan dengan UUD 1945” tegasnya. (Lulu Hanifah/IR–MK)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *