Baca Tulisan Sebelumnya : Buku ‘Sadar Kaya’ : Jangan Membatalkan Do’a

DENGAN uang 19 juta di tangan rasanya saya ingin mengajak anak-anak main, walaupun hanya ke Ancol.

Bukan main senangnya kedua anak itu, di hari Minggu itu kami sekeluarga berekreasi ke Taman Impian Jaya Ancol, mulai dari makan pagi di pantai, jalan-jalan ke pasar seni, laut, lalu ke Dufan sebagai puncak acaranya.

Ketika pukul 10 pagi tiba di pasar seni ada hal yang menarik perhatian saya yaitu sebuah lukisan. Sebenarnya saya bukan penggemar apalagi pengoleksi lukisan, namun lukisan bergambar wajah manis gadis mungil duduk di halaman rumah menatap pantai itu, memberikan pemandangan yang menakjubkan menurut saya.

Baca : Millionaire Mindset

Saya menatap lama lukisan tersebut, bunga di rambut, topi yang dikenakannya, semuanya menarik bagi saya, sang penjual yang rupanya juga sang seniman pelukisnya pun menghampiri saya.

Saya bertanya, “Piro cak.”

Saya tahu seniman itu orang Surabaya, karena sedari tadi menggunakan bahasa Suroboyo-an ketika bicara dengan sesama seniman di sebelahnya.

“Telung juto cak,” jawabannya singkat.

“Ah telung juto larang iku cak (tiga juta mahal),” kata saya.
“Sa juta wae yo,” tawar saya sekenanya.

“Gak iso iki cak,” katanya lalu melongos membalik badan.

Saya pun pergi jalan, keluar untuk ke Dufan bersama anak-anak. Setelah lelah bermain hingga pukul 5 sore, kami pun menuju kendaraan kami di parkiran, ketika hendak naik mobil, terdengar suara memanggil dari kejauhan, “Mas, cak hei.”

Saya pun menengok, rupanya seniman tadi yang memanggil, lalu menghampiri saya dengan membawa gulungan kertas, yang ternyata lukisan tadi.

“Mas, ini jadi Mas, sajuta,” katanya sambil tersenyum polos.

Karena sudah keburu janji, akhirnya saya setuju, “Le sejuto tak tuku,” kata saya (kalau satu juta saya bayar).

Akhirnya saya ke ATM dan menarik uang untuk membayar lukisan itu.

Esoknya Hari Senin, saya membuatkan bingkai untuk lukisan itu di sebuah toko pigura di bilangan Duren Tiga Jakarta Selatan. Dari sana saya dijanjikan Rabu pukul 9-an selesai sudah bisa diambil.

Singkat cerita lukisannya saya ambil pukul 10 dan saya bergegas pulang ke rumah saya di bilangan Bekasi Barat. Setibanya di depan rumah ada sebuah mobil terparkir dan saya tahu ini mobil sewaan teman istri saya, dia pasti sedang mengambil baju pesanannya.

Dia adalah Frida, seorang mahasiswa S3 dari Swedia yang sedang mengambil disertasi tentang keragaman Islam di Nusantara Indonesia. Saya kenal sekali dengan Frida dia berusia 26 tahun single, cantik, mata biru, rambut pirang, seperti artis Hollywood, kalau di sini bisa dibilang mirip Sophia Latjuba. Berbadan mirip pragawati, pintar dan mengerti tata krama ketimuran.

Kalau dia ke rumah yang mana istri saya punya usaha baju muslim dan bordiran, pastinya saya ikut nimbrung diskusi, biasanya baru sebentar saja, istri saya sudah sibuk mengusir saya untuk masuk ke kamar, “Jangan lama-lama,” katanya.

Tapi ada benarnya juga sih, memang Frida cantik kok. Frida pernah mengeluh beberapa kali dia ke pesantren tradisional, banyak ulama dan ustadz yang menganjurkannya menikah, dia bingung kenapa? 

Kalau melihat penampilannya karena dia dari negara subtropis, kemudian datang ke negara tropis yang lembab seperti Indonesia ini, busana yang dia kenakan memang agak terbuka, mungkin supaya semilir angin masuk dan tubuhnya adem tidak kegerahan. Ya benar tubuh dia memang jadi adem, tapi tubuh cowok seperti saya, ya kepanasan ekstra. Begitu juga para lelaki yang lain, terlepas dari ilmu agama apapun yang mereka miliki, karena itu cara paling aman adalah dibuatkan baju longgar berbahan asli cotton kapas, sehingga menyerap keringat dengan baik.
Baju itulah yang dia pesan ke istri saya dan hari itu pastinya dia sedang mengambil pesanan tersebut.

Saya masuk ke dalam dan langsung saya pajang lukisan tersebut tepat di depan pintu masuk, jadi kalau pintu terbuka semua orang pasti melihat lukisan gadis kecil bertopi dan berbunga di rambutnya menatap indahnya pemandangan dari serambi rumahnya.

Selagi saya memandangi lukisan tersebut, Frida lewat bersama seorang perempuan yang agak berumur, rupanya itu ibunya.

“Hai, this is my Mam.”
“Mam, this is Wowiek, the house owner,” katanya, juga saya pemilik rumah, padahal cuma ngontrak.

Saya memperhatikan ibunya Frida menatap lama lukisan tersebut dan berbalik bicara ke Frida dengan bahasa yang tidak saya kenal, sepertinya bahasa Swedia.

Lalu, Frida bertanya, “Well, Wowiek what is this?”

Saya bingung menjawabnya, dengan pelan saya berkata, “A painting.”

“Well I meand, my Mam ask me, where do you get this painting,” tanyanya lagi.

Saya pun menceritakan singkat kejadian saya di hari Minggu kemarin, lalu ibunya kembali berdiskusi dengan Frida hingga akhirnya dia bertanya, “Do you sell, this painting?”

“No Mam,  I Love It, I just for Kids,” jawab saya.

Saya lihat ekspresi kecewa di wajah sang ibu, lalu mereka kembali berdiskusi. Frida berkata dengan tegas, “How my friendly my Mam said if this painting is sold then she will buy ten thousand dolars.”

Baca : Millionaire Mindset 2

Sebelum sempat saya jawab, istri saya menyikut perut saya dan bilang, “Sure Mam, you can buy this painting.”

Seketika ibu itu langsung tersenyum sumringah, dia mengambil segepok lembaran uang seratus dolar dari dalam tasnya, lalu menghitung dan menyerahkannya sambil berkata, “Here is ten thousand dolar for you would you please Enroll It to plastik time I will take it as we come back from jogja so it’s pleasing to the eye.”

Demi uang sebesar itu, saya pun segera merespon, “Yes Mam, I will bring it perfectly. Dalam hati saya bertanya-tanya kenapa dia ngotot sekali ingin memiliki lukisan ini.

Akhirnya saya pun bertanya, “Any way Mam, what’s the story, how do you like this painting?”

Ibu Frida tersenyum lalu mencari-cari sesuatu dalam tasnya yang besar tersebut, dari situ dia mengeluarkan sebuah dompet biru, kemudian dia menunjukkan sesuatu, sebuah foto usang dan tua.

Begitu saya lihat foto tersebut, saya terkejut bukan main, karena mirip sekali dengan gambar dilukisan itu. Ya 95 persen mirip, saya heran sekali dengan tersenyum bangga dia berkata, “This is me when I was your in my house in Barcelona then I move to Swedia letter on and got married frida is father.”

Rupanya kemiripan lukisan itu mengingatkan dirinya yang pernah tinggal di Barcelona di atas beranda rumahnya menatap pemandangan lepas dengan bunga yang dipetiknya dan disematkan di antara rambut dan topinya.

Apakah ini hanya sebuah kebetulan atau bukti lain dari Prosperity Consciousness?

Sumber : Buku ‘SADAR KAYA’ Karya : Mardigu Wowiek Prasantyo

Baca Tulisan Berikutnya : Buku ‘Sadar Kaya’ : Lepaskan Beban yang Tak Perlu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *